Minggu, 28 April 2013

Sejarah Singkat Kabupaten Ciamis


 

URAIAN SINGKAT HARI JADI
KABUPATEN DAERAH TINGKAT II CIAMIS
TANGGAL 12 JUNI 1642

Dari mana akan dimulai atau dijadikan tanggal permulaan sebagai hari jadi Kabupaten Ciamis, apakah dari zaman Rahiyangta di Medangjati, dari zaman Rakean Jamri atau Rahiyang Sanjaya sebelum Ciung Wanara yang pernah memimpin Galuh serta melebarkan kawasan Galuh sampai ke Malaya, Keling, Khmer dan China sebagaimana tercantum dalam Sarga XI Carita Parahyangan ataukah diambil dari peristiwa :
1. Digantinya nama Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis oleh Bupati Raden Tumenggung Sastrawinata pada tahun 1916;
2. Memindahkan pusat pemerintahan dari Imbanagara ke Cibatu ( sebelah selatan Ciamis ) oleh Bupati R.A.A Wiradikusuma pada tanggal 15 Januari 1815.
Untuk dapat lebih bisa dipertanggungjawabkan, oleh DPRD Kabupaten Ciamis dengan surat keputusannya tanggal 6 Oktober 1970 Nomor : 36 / X / kep / DPRD / 1970, disempurnakan dengan surat keputusan tanggal 8 Februari 1971 Nomor : 5 / II / kep. / DPRD / 1971, dibentuklah Panitia Penyusunan Sejarah Galuh (PPSG). Panitia ini didampingi oleh Tim Akhli Sejarah yang dipimpin oleh Drs. Raden H Said Raksanegara dari IKIP Bandung. Kemudian panitia ini telah menyusun draf penulisan sejarah Galuh dan secara resmi menyerahkannya ke DPRD sekaligus dengan saran penetapan tanggal hari jadi Kabupaten Galuh Ciamis. Laporannya diajukan dalam Sidang Pleno DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Ciamis tanggal 17 Mei 1972. DPRD menerima draft penulisan sejarah Galuh ini sebagai pegangan autentik kemudian menetapkan hari jadi Kabupaten Galuh Ciamis pada tanggal 12 Juni 1642. Keputusan ini dituangkan dalam surat keputusan DPRD tanggal 17 Mei 1972 Nomor : 22 / V / kep / DPRD / 1972.
Kata Galuh berasal dari bahasa sansekerta yang berarti jenis batu permata, Raden Galuh berarti Puteri yang belum menikah, Istana Galuh berarti Istana Keputren ( CHC Klinkert, Maleischnederl Woordenbook 1902 ). Dari Carita Parahyangan, kropak nomor 406 yang disimpan dibagian Naskah Museum Pusat Jakarta Sarga VIII sampai Sarga XIV, menyebut Raja Sanjaya selaku Ratu Galuh. “Rahiyang Sanjaya kawekasan ring Medang Raturing Galuh Sang Seuweu Karma ( Sarga XI )”. “Ti Inya Rahiyang Sanjaya nyambrang ka desa, Malayu Diprang di Kemir, eleh Rahiyang tanggana diprang Devi ka Keling oleh Sang Sriwijaya diprang kabrus eleh Ratu Jayadana, diprang ka China oleh Patih Sarikaladarma, mulang Rahiyang Sanjaya ka Galuh ti sabrang ( Sarga XI akhir )”.
Begitu juga Prasasti Canggal di Kedu menyebutkan juga tentang Raja Sanjaya nama tokoh yang hidup pada abad VII Masehi. Prasasti ini memberi keterangan yang cukup luas tentang Prabu Sanjaya antara lain :
“Namanya ialah Sang Raja Cri Sanjaya dengan jasanya sebagai Matahari mashur dimana-mana, beliau adalah putera Sang Sannaha saudara perempuan Sang Raja Sanna”. Dinasti Sanjaya pada tahun 846 membangun Candi Prambanan, dan catatan ini resmi dari catatan Dinas Purbakala dan merupakan fakta sejarah.
Apa benar Raja Galuh yang bernama Raja Sanjaya ini pernah memerintah di daerah Kedu sebagai pusat pemerintahannya, kemudian meluaskan kekuasaannya sampai ke Khmer ? Carita Parahiyangan kropak 406 menyatakan bahwa ayah Rahiyang Sanjaya adalah Sang Sena yang ketika menjadi raja di Galuh terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahiyang Bunisora saudara tirinya sendiri, kemudian Ia dibuang ke daerah Gunung Merapi “Na Sang Sena dianteurkeun ka Gunung Marapi, di Seuweu Rakeyan Jambri”. Di Jawa tidak ada lagi Gunung Merapi selainnya di daerah Kedu, jadi Sanjaya dibesarkan di daerah Gunung Merapi kemudian setelah ayahnya meninggal dunia, Rahiyang Sanjaya yang juga dikenal Rakean Jamri menyusun pemerintahan baru di daerah Jawa Tengah malahan sampai ke Malaya dan Khmer.
Selain terkenal sebagai Raja yang berkuasa besar dan sebagai panglima perang yang tangguh, Raja Sanjaya terkenal pula sebagai raja yang sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Pada Sarga XII Carita Parahiyangan hal ini ditegaskan “hanteu dipilarang na omas na beusi ku Rahiyang Sanjaya, hengan huripna urang reya dipilarang”, artinya “baik mas maupun besi logam mulia lainnya tidak akan dihargai oleh Rahyang Sanjaya, yang dihargai dan diharapkannya adalah kesejahteraan rakyat”. Kemudian tercatat Parebu Raja Wastu atau yang juga dikenal namanya Parebu Niskalawastu Kancana (Batu Tulis Kawali dan Prasasti Tambaga Kabantenan Bekasih) yang hidup enam abad kemudian, yang menurut penulisan sejarah tercatat menjadi Raja Galuh di Kawali sejak tahun 1371 sampai dengan tahun 1475 ( 104 tahun lamanya ) karena sangat baiknya menjadi Ratu.
Raja ini terkenal dengan banyaknya mendapat pujian. Wangsitnya semua menyuruh melakukan kebaikan bagi kesejahteraan negara dan bangsa. Tercatat dalam lontar “ku beet hamo diukih, nya mana sang tarahan enak lalayaran ngawakan manu raja Sasana. Sanghyang apah teja, bayu, akasa, sangbu enak-enak ngalungguh di Sanghyang Jagat Palaka”; artinya pada zaman pemerintahan Prabu Wastukancana aman tentram kertaraharja, para pupuhu kampung dan rakyat pada enak makan, para resi tentram dalam melaksanakan tugas keresiannya mengamalkan purbatisti purbajati, para dukun tentram melakukan perjanjian-perjkanjian dengan menggunakan peraturan yang bertalian dengan kehidupan membagi-bagi hutan dan sekelilingnya baik oleh yang kecil maupun oleh yang besar tidak akan ada kericuhan. Para pelaut merasa aman berlayar menurut peraturan Ratu, air, cahaya, angin, langit, bumi merasa senang berada pada pimpinan pengayom jagat ( Parebu Raja Wastu mendapat julukan pengayom jagat / jagat palaka ).
Karyanya sendiri tersurat pada prasasti Astana Gede yang antara lain berbunyi “…nu mahayunan kadatuan surawisesa, nu marigi sakuriling dayeuh, nu najur sagala desa…” ini kesemuanya merupakan karya beliau selainnya memperindah kota termasuk keratonnya juga membuat saluran-saluran air di seluruh wilayah, dan memakmurkan seluruh desa-desa yang ada di wilayah Galuh. Setelah pemerintahan beliau, maka pusat pemerintahan dipindahkan ke Pakuan ( Bogor sekarang ). Galuh pada masa akhir pemerintahan Padjadjaran atau pada masa runtuhnya Kerajaan Padjadjaran tidak dapat kita ketahui dengan pasti. Kita baru menemukan kembali cerita tentang Galuh dari tahun 1595 yang menyatakan bahwa sejak tahun itu Galuh merupakan wilayah kekuasaan Mataram dengan batas-batas wilayahnya :
- Sebelah Timur : Sungai Citanduy
- Sebelah Barat : Gunung Galunggung, Sukapura dan Sungai Cijulang
- Sebelah Utara : Daerah Sumedang dan Cirebon
- Sebelah Selatan : Samudera Hindia
Menurut Dr. F. De Haan, tempat-tempat yang sekarang masuk Provinsi Jawa Tengah seperti Majenang, Dayeuhluhur, Sidareja dan Pagadingan pada mulanya masuk daerah Galuh juga. Tempat-tempat yang merupakan pusat kekuasaan Galuh di waktu itu masing-masing dikepalai oleh seorang yang berkedudukan sebagai raja-raja kecil yang biasanya dipandang sebagai bupati yang kebanyakan mempunyai hubungan darah antara satu sama lain melalui perkawinan yakni berada di :
a. Cibatu ( sebelah selatan kota Ciamis ) Desa Linggasari.
b. Garatengah ( daerah Cineam ) Kabupaten Tasikmalaya sekarang.
c. Desa Imbanagara ( sebelah barat kota Ciamis ).
d. Kawali ( sebelah utara kota Ciamis ) berada di lintasan Ciamis~Cirebon.
e. Ciancang ( sekarang Desa Utama ) letaknya 4 km dari kota Ciamis arah timur.
f. Bojonglopang ( Desa Kertabumi sekarang ) letaknya sebelah timur laut Desa Utama.
g. Kawasen ( sekarang Wilayah Banjarsari ) Ciamis bagian selatan.
Mataram berusaha u ntuk menanamkan pengaruhnya secara intensif di Galuh dilakukan oleh Sultan Agung mengusir VOC dari Batavia, karena Galuh merupakan salah satu daerah penting sebagai batu loncatan dan sumber tenaga manusia untuk dijadikan prajurit, dalam penyerbuan ke Batavia sebagai realisasi politiknya ini Sultan Agung mengangkat Adipati Panaekan menjadi Bupati Wedana di Galuh ( semacam Gubernur ). Adipati Panaekan adalah putra Prabu Galuh Ciptapermana keturunan sPrabu Haur Koneng. Sementara itu di Jawa Barat ada 2 tokoh yang sangat berpengaruh yaitu :
1. Dipati Ukur yang memerintah di Ukur ( Bandung sekarang ).
2. Pangeran Rangga Gempol I yang memerintah di Sumedang Larang.
Keduanya tidak pernah sependapat di dalam menentukan kebijaksanaan mengusir VOC/Belanda yang bercokol di Batavia. Pengaruh pertentangan pendapat kedua tokoh itu meluas sampai juga ke Galuh.
Adipati Panaekan berselisih pendapat dengan adik iparnya Dipati Kertabumi ( Bupati Ciancang ) yang akhirnya mengakibatkan terbunuhnya Adipati Panaekan. Jenazah Adipati Panaekan dihanyutkan ke Sungai Citanduy, dan tempat itulah (Karangkamulyan sekarang) jenazah Adipati Panaekan dimakamkan. Sebagai penggantinya ditunjuk Adipati Imbanagara yang ada pada waktu itu berkedudukan di Garatengah ( Cineam Kabupaten Tasikmalaya sekarang ). Dalam usaha Mataram melenyapkan penjajahan Belanda di Jawa tahun 1628 dibawah pimpinan Sultan Agung dilakukan penyerangan ke kota Batavia dengan dibantu anak buah Dipati Ukur, namun serangan kesatu itu gagal kemudian dilanjtkan dengan serangan kedua pada tahun 1629. Akan tetapi Dipati Ukur yang semula membantu Mataram mengusir Belanda ternyata berbalik menentang Mataram. Tindakan politik Dipati Ukur ini telah berekor panjang, dimana Dipati Imbanagara telah menjadi korban politiknya.
Issu Dipati Imbanagara membantu politik Dipati Ukur menentang Mataram telah mengakibatkan kecurigaan pihak Mataram. Akhirnya Mataram mengirimkan utusan untuk mendengar pertanggungjawabannya dengan mengambil tempat di Kertabumi, walaupun kedudukan Dipati Imbanagara lebih tinggi yang pada waktu itu berpusat di Garatengah. Di tengah perjalanan Bupati Imbanagara dicegat serombongan orang yang mengaku utusan Mataram yang diberi wewenang untuk melaksanakan hukuman mati terhadap Dipati Imbanagara dan sebagai buktinya kepala Dipati Imbanagara harus dibawa ke Mataram. Peristiwa berdarah ini terjadi pada tahun 1636 di sekitar daerah Bolenglang dimana badan jenazah Dipati Imbanagara dimakamkan di makam Gegembung sekarang. Gegembung sendiri artinya adalah badan tanpa kepala.
Para pengikut Dipati Imbanagara yang tidak puas dengan peristiwa yang menimpa pemimpinnya mencegat utusan Mataram yang berusaha membawa kepala Dipati Imbanagara ke Mataram di Sungai Citanduy dan konon menurut cerita dalam bentrokan tersebut kepala Dipati Imbangara jatuh ke Sungai Citanduy. Tempat jatuhnya kepala Dipati Imbanagara ini dikenal sebagai Leuwi Panten. Akhirnya Mataram menyadari kekeliruan ini dan Mataram menyatakan penyesalannya, dan sebagai tanda penyesalannya dan sebagai jasa baiknya Mataram menunjuk putra Dipati Imbanagara yang bernama Mas Bongsar sebagai penggantinya (Bupati Garatengah).
Namun, karena pada waktu itu baru berumur 13 tahun maka pemerintahan diwakilkan kepada Patih Wiranangga yang pernah ambisi karena penghianatan anak buah sendiri, Mas Bongsar pernah hidup sengsara di tempat persembunyiannya. Tapi berkat keuletan dan ketinggian budinya semua cobaan dapat diatasi, sedangkan anak buah yang berkhianat diampuninya dengan segala kebesaran jiwanya. Sultan Mataram mengatakan agar Imbanagara dijadikan nama kabupaten yang diperintahnya. Setelah beliau berkedudukan sebagai bupati penuh tanpa didampingi wali lagi, Raden Adipati Aria Panji Jayanagara telah memindahkan pusat kekuasaannya dari Garatengah (Cineam Tasikmalaya) ke Calincing, tetapi tidak lama kemudian dipindahkan lagi ke Barunay (Imbanagara). Pada tanggal 14 Maulud yang tahun masehinya jatuh pada tanggal 12 Juni 1642. Sekarang nama Barunay hanya nama sebuah kampung di Desa Imbanagara.
Perpindahan pusat Kabupaten Galuh dari Garatengah ke Imbanagara pada tanggal 12 Juni 1642 telah tercatat sebagai titimangsa bersejarah dalam perkembangan sejarah terjadinya Kabupaten Galuh Ciamis dengan wilayah kekuasaannya seluas sekarang karena :
1. Peristiwa tersebut membawa akibat yang positif terhadap perkembangan pemerintah dan rakyatnya.
2. Perubahan tersebut mengandung unsur perjuangan dari pemegang pimpinan terhadap kesejahteraan rakyatnya dan unsur kemerdekaan / kebebasan bagi rakyatnya masih dipertahankan dalam menentang kekuasaan orang asing (penjajah).
3. Pada zaman itu Kabupaten Galuh dibawah kekuasaan Bupati Raden Adipati Aria Panji Jayanagara merupakan wilayah yang merdeka dan berdaulat meskipun ada pengakuan terhadap kekuasaan Mataram yang sebenarnya hanya sebatas saling membantu.
Maka berdasarkan pertimbangan inilah hari jadi Kabupaten Galuh Ciamis diresmikan pada tanggal 12 Juni 1642, sedangkan perubahan nama Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis dilakukan oleh Bupati Raden Tumenggung Sastrawinata pada tahun 1916. Dan pemindahan ibukota pemerintahan dari Imbanagara ke Cibatu (Ciamis) dilakukan pada saat pemerintahan Bupati Wiradikusumah yang sejak pengangkatannya pada tanggal 15 Januari 1815 telah memindahkan pusat pemerintahannya dari Imbanagara ke Ciamis. Sejarah hari jadi Kabupaten Ciamis tidak terlepas kaitannya dengan sejarah perkembangan Kabupaten Galuh itu sendiri.


1 komentar: